Islam, Negara dan Pancasila Objektifikasi Nilai-nilai Islam dalam Konteks Kebangsaan, Menuju Terwujudnya Indonesia sebagai Negara-Bangsa yang Unggul, Kokoh dan Mandiri

Islam, Negara dan Pancasila

Objektifikasi Nilai-nilai Islam dalam Konteks Kebangsaan, Menuju Terwujudnya Indonesia sebagai Negara-Bangsa yang Unggul, Kokoh dan Mandiri

Pendahuluan

Negara dapat dikatakan sebagai sebuah lembaga purba manusia yang telah ada sekitar 10.000 tahun yang lalu sejak masyarakat pertanian muncul di Mesopotamia.[1] Negara-negara tersebut, yang telah lahir mulai sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun silam,[2] memiliki fungsi dan peran yang sangat beragam, mulai fungsi dan peran yang baik hingga sebaliknya. Negara yang ideal adalah Negara yang memiliki selain kemampuan, juga mampu menjalankan fungsi dan peran idealnya secara maksimal.[3]

Negara ideal seperti telah disinggung di atas, yang memiliki fungsi serta peran yang dijalankan dengan berorientasi hanya kepada perwujudan kesejahteraan rakyat, tentu tidak mungkin bisa terwujud jika Negara itu sendiri mengalami subordinasi. Dalam konteks ekonomi dan politik misalnya, jika Negara tidak lebih dominan dari entitas lainnya, maka dapat dikatakan bahwa Negara lemah. Jika Negara lemah maka tidak menutup kemungkinan fungsi dan perannya akan diambil alih oleh institusi atau lembaga yang lain di luar kekuasaan Negara, misalnya pasar.

Pada abad perkembangan dan kemajuan seperti sekarang, dimana modernisasi merupakan sutradara dari arus globalisasi yang terjadi, secara tidak langsung, secara perlahan, mulai menggeser fungsi dan peran Negara yang kemudian diserahkan hampir sepenuhnya kepada kebijakan pasar. Seperti dapat kita lihat dan rasakan dampaknya bagaimana kapitalisme yang semakin kuat, telah mampu memaksa Negara untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang justru dibuat tidak demi kesejahteraan rakyatnya, namun untuk memenuhi pesanan dari penguasa modal, kapitalis. Kebijakan pasar bebas, yang belakangan telah berhasil membuka kran perdagangan bebas melalui AFTA, secara tidak langsung, dikarenakan masyarakat dan Negara belum benar-benar siap untuk itu, mengakibatkan kehancuran beberapa sektor ekonomi mikro di beberapa wilayah di Indonesia. Sekali lagi, Negara pun tidak bisa berbuat banyak.

Sudut pandang ekonomi di atas, dalam menilai sejauh mana kekuatan Negara selama ini, pada dasarnya belumlah cukup untuk menilai apakah Negara sekarang kuat atau lemah. Melalui sudut pandang demokrasi dan politik pun demikian, tidak ditemukan indikasi bahwa kondisi Negara hari ini kuat. Beberapa fakta lapangan menyatakan bahwa Negara tidak mampu bersikap tegas terhadap berbagai intervensi dari luar terkait dengan beberapa kebijakan politik di Indonesia. Pandangan dari sebagian besar pengamat demokrasi dan politik di Indonesia merupakan representasi penilaian bahwa pada wilayah politik pun, Negara lemah. Sama halnya dengan kondisi pendidikan di Indonesia, pengkomoditasan terhadap pendidikan, dan pemburuhan terhadap baik dosen maupun guru, seakan mengarahkan institusi pendidikan tidak lebih dari sebagai perusahaan produsen buruh berikutnya.[4] Lagi-lagi hal ini membuktikan bahwa Negara tidak mampu berbuat banyak terhadap nasib pendidikan di Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, yang mayoritas masyarakatnya adalah Muslim, apakah Islam hanya akan diam saja ketika menyaksikan kondisi Negara yang kian hari semakin melemah dan tidak berdaya dalam menghadapi tidak hanya kekuatan global, namun juga kejumudan atau bahkan tantangan-tantangan internalnya?[5] Islam, dalam konteks sejarahnya, memiliki pengalaman yang cukup mengesankan. Bahwa Islam telah mampu melahirkan suatu peradaban tingkat tinggi dengan Islam sendiri sebagai yang dominan dalam mewarnai kanvas peradaban tersebut. Jika Islam dengan kandungan nilai-nilai di dalamnya digali kembali, kemudian diramu dengan mengkontekstualisasikannya dengan fakta empiris yang ada sekarang, besar kemungkinan bahwa Islam akan mampu menjawab kebutuhan baik masyarakat maupun Negara hari ini, khususnya Indonesia.

Kemudian, apakah masih ada kesempatan bagi Negara, khususnya Indonesia untuk mengembalikan kekuatan serta fungsi dan perannya sehingga mampu mewujudkan Indonesia yang benar-benar unggul, kokoh dan mandiri? Bagaimana pandangan Islam terhadap Negara yang kuat? Serta mampukan Islam menghadirkan formulasi yang tepat bagi kebutuhan Negara hari ini? Terakhir, apa sajakah, dan bagaimana formulasi yang dihadirkan oleh Islam tersebut diaktualisasikan ke dalam konteks keindonesiaan?

Melalui beberapa pendekatan, yaitu, sosial dan politik, beberapa pertanyaan atau rumusan masalah di atas akan coba dijawab dalam tulisan ini. Adapun perspektif yang akan digunakan oleh penulis dalam tulisan ini menggunakan perspektif filosofis.

Dialektika Islam dan Indonesia

Berdasarkan fakta sejarah, Islam di Indonesia dan Indonesia itu sendiri, memiliki beberapa persamaan mendasar.[6] Hal itu juga yang mengakibatkan mengapa Islam pada awal masuknya di Indonesia dapat diterima oleh masyarakat nusantara pada waktu itu, hingga tumbuh dan berkembang sampai pada puncak kuantitasnya sekarang. Ekspansi Islam di Indonesia pada awalnya memang dapat dikatakan sebagai tantangan teologis, politis dan kebudayaan pada waktu itu, yang dibuktikan dengan beberapa perlawanan yang juga sempat muncul pada waktu itu.[7] Pertentangan antara Islam dan masyarakat Indonesia pada waktu itu, sebenarnya lebih sebagai proses akulturasi dari pada pertentangan yang bersifat penolakan.

Dapat diterimanya Islam oleh masyarakat Indonesia tentu tidak dapat dilepaskan dari adanya kesesuaian antara kandungan ajaran Islam dengan prinsip-prinsip, tradisi dan budaya serta filosofi kehidupan dalam wilayah substansinya. Sebagai contoh misalnya, bagaimana masyarakat Indonesia memiliki prinsip gotong royong, tepo sliro, mikul dhuwur mendem jero,[8] keberagaman, serta masih banyak lagi beberapa nilai, prinsip maupun tradisi-tradisi yang pada hakekatnya sama dengan kandungan ajaran Islam. Mengenai gotong royong, Islam juga mengajarkan hal yang sama, mengenai tepo sliro dan mikul dhuwur mendem jero, Islam pun memerintahkan kepada seluruh Muslim untuk saling menghormati, menghargai, dan menyayangi sesamanya.[9]

Pada dasarnya, telah ditemukan sintesis yang paling memungkinkan dari proses dialektika antara Islam dan Indonesia. Sejarah pun mencatat bahwa beberapa Negara yang besar dan mampu bertahan bahkan menguasai dunia adalah Negara yang memiliki basis nilai yang kuat, dan Islam menyediakan itu semua untuk bangsa Indonesia. Memang Islam tidak menyebutkan secara detil mengenai pedoman teknis tentang Negara, tetapi Islam memiliki nilai-nilai yang dapat diadopsi kemudian dikontekstualisasikan ke dalam dinamika kehidupan kebangsaan di Indonesia.

Kemerdekaan dan kemajuan yang selama ini telah dirasakan oleh bangsa Indonesia pun, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari peran para pendahulu yang mayoritas dari mereka adalah Muslim, dan mereka menjadikan Islam sebagai kerangka utama dari bangunan pemikiran serta aktifitas-aktifitas mereka dalam mewujudkan Indonesia yang ideal.[10] Mereka telah mencoba mendialektikakan antara Islam dengan Indonesia. Meskipun belum sepenuhnya berhasil, namun mereka telah berhasil menawarkan beberapa tawaran alternatif mengenai bentuk Negara yang paling ideal untuk Indonesia. Apakah Indonesia hari ini telah mencapai bentuk negaranya yang final, terlalu dini untuk mengatakan demikian. Indonesia hari ini adalah Indonesia yang masih selalu dalam fase eksperimentasi, tahap pencarian bentuk atau format Negara yang paling tepat, minimal untuk sementara waktu. Oleh karena itu, menjadi peluang besar, jika Islam coba untuk digali kembali khasanahnya, kemudian diobjektifikasikan untuk menjawab berbagai kebutuhan bangsa. Tidak menutup kemungkinan, Indonesia ke depan akan lebih baik dari yang ada saat ini.

Pandangan Islam tentang Negara-Bangsa

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa di dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara langsung apalagi detil mengenai petunjuk teknis maupun petunjuk pelaksanaan mengenai Negara. Yang terdapat di dalam Al-Qur’an adalah prinsip-prinsip berupa nilai-nilai yang menjadi pondasi dasar, yang kemudian pada wilayah aplikasinya bersifat kontekstual. Meskipun pada wilayah fakta sejarah, di dalam islam terdapat peristiwa-peristiwa yang menggambarkan tentang Negara, baik berkenaan dengan bentuk, system, maupun mekanisme pelaksanaannya. Namun, sekali lagi, jika itu semua diadopsi utuh tanpa ada kontekstualisasi, maka akan menemui banyak kendala.

Pandangan Islam mengenai Negara bangsa telah banyak dikemukakan oleh para pemikir muslim.[11] Diantara mereka misalnya Ibnu Khaldun, Abu al-A’la Al-Maududi, Ibnu Taimiyah, serta masih banyak lagi dari mereka. Dari beberapa pandangan mereka tentang Negara, secara sederhana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pandangan sekuler dan fundamentalis. Pandangan pertama mengatakan bahwa Negara adalah bagian integral dari Islam, maka Islam harus menjadi dasar Negara.[12] Sedangkan pandangan kedua mengatakan bahwa harus ada pemisahan total antara Islam dan masalah-masalah kenegaraan.[13] Di Indonesia sendiri, dikenal diantaranya M. Natsir, Abdurahman Wahid, Nurcholis Madjid, dan H. Munawir Sadzali. Menurut Nurcholis Madjid, Negara bangsa merupakan suatu gagasan tentang Negara yang didirikan untuk seluruh bangsa. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa pengertian bangsa atau “nation”, di dalam bahasa Arab sering diungkapkan dengan istilah ummah atau umat. Sederhananya, menurut Nurcholis Madjid, Negara bangsa adalah Negara untukseluruh umat, yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan tersebut. Tujuan Negara bangsa adalah untuk mewujudkan maslahah umum, yaitu suatu konsep tentang kebaikan yang meliputi seluruh warga Negara tanpa kecuali.[14]

Menurut Abdurrahman Wahid, Negara bangsa adalah Negara di mana di dalamnya terdapat format perjuangan dari seluruh lapisan masyarakat, khususnya Islam, untuk mewujudkan Indonesia yang kuat, demokratis dan penuh keadilan di masa depan.[15] Dikatakan juga oleh Abdurrahman Wahib, bahwa untuk mencapai Negara yang seperti itu, maka Islam harus difungsikan sebagai kekuatan integrative dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Melalui pandangan dari beberapa pemikir Muslim Indonesia di atas, dapat dikatakan bahwa pada dasrnya Negara-bangsa merupakan suatu konsep ideal, yang juga bisa dikatakan sebagai sebuah sintesis yang paling memungkinkan untuk dijadikan sebagai format Indonesia ke depan. Tentu saja dengan menjadikan Islam sebagai kerangka konseptualnya.

Sistem Nilai Islam tentang Negara-Bangsa: Pelaksanaan Pancasila sebagai Bagian dari Aktualisasi Islam

Pancasila dengan kelima silanya merupakan kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan unsur-unsurnya. Karena masing-masing sila menjadi perekat dari yang lainnya dalam menjaga keutuhan nilai ideologisnya.[16] Pelaksanaan terhadap pancasila secara utuh dan benar, dapat dikatakan sebagai pengamalan terhadap beberapa nilai-nilai Islam dalam konteks keindonesiaan.[17] Sistem nilai islam tentang Negara-bangsa, yang tertuang ke dalam bentuk prinsip-prinsip ideal mengenai Negara, atau lebih tepatnya kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, secara sederhana dapat dikatakan telah diwakili oleh Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Sila pertama hingga sila kelima dari Pancasila tersebut, mengandung unsur-unsur pokok tidak hanya Negara-bangsa, namun juga pesan moral pada wilayah aplikasinya.[18]

Jika memang Pancasila merupakan sintesis antara Islam, yang dalam hal ini pengadopsian atas sari-sari Islam yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, dengan Indonesia itu sendiri, mengapa sampai sejauh ini bangsa Indonesia belum juga mampu bangkit menjadi bangsa yang besar dan maju? Mengapa juga sampai hari ini bangsa Indonesia belum mampu menjadi bangsa yang unggul, kokoh dan mandiri? Bukan formulanya yang keliru, tetapi wilayah implementasinya yang semestinya ditinjau ulang. Sama halnya dengan Al-Qur’an maupun hadist serta pedoman-pedoman umat Islam lainnya, formulanya sudah tepat, namun jika dalam pelaksanaannya tidak benar dan konsisten, maka jarak antara kenyataan dengan nilai ideal justru akan semakin jauh.

Bagi bangsa Indonesia, bertindak dan berlaku sesuai dengan Pancasila, karena Pancasila sebagai sintesis antara Islam dan Indonesia, adalah kewajiban dalam rangka membentuk manusia Indonesia yang seutuhnya. Kelahiran semangat atau kesadaran nasionalisme dan patriotisme, yang di kemudian hari mampu membawa bangsa Indonesia kepada kondisi yang diharapkan, merupakan proses internalisasi atau ideologisasi dari apa yang selama ini dijadikan sebagai pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Oleh karena itu, bangsa Indonesia saat ini, setelah memiliki formula yang tepat, tinggal bagaimana melakukan internalisasi terhadap formula yang ada tersebut. Atau lebih tepatnya melakukan objektifikasi.[19]

Komitmen dan konsistensi dalam pengamalan Pancasila, yang juga menjadi tekad dari para pendiri bangsa dalam berjuang memperebutkan dan mempertahankan kemerdekaan, dalam konteks Indonesia sekarang, dimana untuk sementara waktu demokrasi menjadi pilihan sebagai bentuk Negara, harus mulai dibangun baik pada wilayah pengetahuan, kesadaran, maupun pelaksanaan atas pemahaman tersebut.

Objektifikasi Islam dalam Konteks Kebangsaan: Menuju Terwujudnya Indonesia yang Unggul, Kokoh dan Mandiri

Peradaban terlahir dari sebuah tradisi yang berlangsung secara berkelanjutan, tradisi tersebut dibangun atas tata nilai yang disepakati serta digunakan. Tata nilai yang disepakati tersebut, berangkat dari keyakinan sebagai pondasi kehidupan secara luas, yang melingkupi seluruh aspek di dalamnya. Bahwa peradaban yang sedang terjadi merupakan objektifikasi dari keyakinan yang diletakkan sebagai bangunan dasar kehidupan yang ada. Mengapa kapitalisme mampu begitu kuat dan sedemikian menguasai hamper seluruh aspek kehidupan masyarakat? Tidak lain hal tersebut didasari oleh semangat dari apa yang menjadi keyakinan mereka, terlepas apakah keyakinan tersebut benar atau salah, terlepas apakah peradaban yang demikian akan berlangsung lama ataukah sebaliknya. Jelas bahwa kapitalisme bisa begitu besar dan kuat karena mereka menjadikan apa yang mereka yakini sebagai spirit. Kemudian, bagaimana dengan bangsa Indonesia? Apakah harus menggunakan keyakinan yang sama sehingga mampu besar seperti kapitalisme hari ini? Tentu tidak, karena Indonesia memiliki keyakinannya sendiri, hanya belum maksimal dalam pemahaman maupun aplikasinya.

Re-empowering ideologi

Dua syarat utama kesuksesan sebuah perjuangan adalah, pertama,  keteguhan iman atau keyakinan kepada dasar atau idealisme yang kuat, yang berarti juga harus memahami dasar perjuangan tersebut. Kedua, ketepatan penelaahan kepada medan perjuangan guna dapat menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh, berupa program perjuangan atau kerja, yaitu ilmu yang luas.[20] Syarat yang pertama di atas dapat dimaknai sebagai ideologi yang harus ada bagi suatu perjuangan. Sedangkan syarat yang kedua, bisa diartikan sebagai metode dalam perjuangan.

Dalam konteks pembangunan bangsa Indonesia seutuhnya, ideologi merupakan hal yang sangat penting sebagai yang mampu menggerakkan sekaligus memberikan pembenaran atas pelaksanaan dari agenda besar Negara dan masyarakat Indonesia. Mengapa ideologi menjadi begitu penting dalam hal ini, karena ideologi merupakan satu sistem idea (gagasan) yang saling berhubungan (keyakinan, tradisi, asas-asas, dan mitos), yang dimiliki oleh satu kelompok atau masyarakat, yang mencerminkan, merasionalisasikan, dan mempertahankan satu kepentingan dan komitmen sosial, moral, keagamaan, politik, dan kelembagaan ekonomi tertentu. Unsur-unsur ideologi cenderung diterima sebagai kebenaran atau dogma dari pada sebagai satu rumusan filosofis atau teoritis sementara, selain pada kenyataannya ideologi dimodifikasi menurut perubahan sosial-budaya.

Ideologi memiliki fungsi selain sebagai pembenaran nalar (logis) dan filosofis bagi pola kelakuan, sikap, tujuan kelompok, serta situasi kehidupan pada umumnya, juga memberikan landasan bagi tindakan kolektif. Selain itu ideologi juga memberi bentuk pada struktur ekonomi dan politik, begitu juga sebaliknya.[21] Mengapa kapitalisme, atau bahkan komunisme bisa begitu kuat dan besar hari ini,[22] tidak lain mereka memiliki ideologi tersebut, serta menjadikannya sebagai landasan bagi tindakan kolektif mereka.

Selama ini bangsa Indonesia memahami Pancasila sebagai ideologi, terlepas apakah Pancasila bisa dikategorikan sebagai ideologi ataukah tidak. Jika melihat definisi serta fungsi dari ideologi di atas, maka Pancasila dapat dikatakan sebagai ideologi. Jika sudah demikian, maka sejauh manakah Pancasila mampu memberi pembenaran atas nalar dan filosofis, memberi landasan bagi tindakan kolektif, serta memberi bentuk terhadap struktur dari seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia? Oleh karena itu, bangsa Indonesia membutuhkan penguatan kembali baik pada wilayah pemahaman (re-understanding) maupun pengaktualisasian kembali (re-aktualisasi) terhadap Pancasila. Kedua sikap tersebut merupakan unsur-unsur dalam penguatan ideologi (re-empowering ideology). Pancasila yang dipahami sebagai sintesis antara keislaman dan keindonesiaan.

Membangun Kembali Kesadaran dan Etos Kebangsaan

Jika masyarakat dan pemerintah bangsa Indonesia tidak memiliki kesadaran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga tidak memiliki etos kebangsaan yang kuat, maka jarak antara harapan besar bangsa indonesia dengan kenyataan tidak akan bisa terakomodir. Sebagai contoh saja misalnya, tentang kesadaran, sampai hari ini bangsa Indonesia belum memiliki kesadaran yang kritis terhadap apa yang sedang dialami. Bahwa penjajahan dalam bentuknya yang baru sedang berlangsung. Penjajahan tersebut telah berhasil merampas bahkan menciptakan kesadaran baru magi masyarakat Indonesia. Yaitu kesadaran bahwa Barat lah yang pantas untuk menjadi ukuran segala sesuatu. Dengan demikian, apapun produk atau tawaran dari Barat, meskipun hal tersebut merupakan penjajahan dalam bentuk baru, bahkan sangat halus, maka harus diterima. Prihatinnya lagi, justru masyarakat Indonesia senang dengan hal itu, kesenangan dalam ketertindasan.[23]

Tentang etos kebangsaan, khususnya pada wilayah etos kerja misalnya, bangsa Indonesia kalah dengan Cina, Jepang, Belanda, dan Swedia. Pada beberapa Negara tersebut, setiap bus kota dilayani hanya oleh satu orang awak, pengemudi yang merangkap sebagai kondektur sekaligus kenek. Hal demikian berlaku untuk bus kota maupun bus antar kota. Di Indonesia, bus kota saja dilayani oleh tiga orang awak, untuk bus antar kota bahkan sampai empat orang awak. Jika dilihat dari segi pelayanannya, bus dari Negara-negara lain tersebut pelayanannya lebih baik, lebih bersih, lebih nyaman, dan terkadang mereka lebih sopan.[24] Tidak lain hal tersebut disebabkan oleh etos kerja masyarakat Indonesia yang kalah jauh jika dibandingkan dengan masyarakat Negara lain. Selain manajemen yang juga kurang bagus.

Oleh karena itu, ke depan yang harus diperbaiki oleh bangsa Indonesia adalah kesadaran dan etos kebangsaan, atau etos kerjanya. Islam pun pada dasarnya menganjurkan kepada para pemeluknya, bahwa untuk mencapai kesejahteraan maka kesejahteraan tersebut harus diupayakan, tidak menunggu.[25] Hal ini sangat jelas bahwa Islam sangat menganjurkan tentang adanya semangat atau etos kerja yang besar dan kuat untuk dapat mewujudkan sebuah cita-cita yang diharapkan oleh manusia. Kondisi ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial-kebudayaan bangsa Indonesia hari ini membutuhkan adanya kesadaran yang kritis untuk bisa keluar dari keadaan yang tidak diharapkan tersebut. Dan Islam, sekali lagi, memiliki banyak tawaran untuk solusi tersebut.

Menuju Perwujudan Indonesia yang Unggul, Kokoh dan Mandiri

Tanpa adanya komitmen yang tinggi serta konsistensi dalam menjalankan kesadaran terhadap setiap usaha untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara-Bangsa yang unggul, kokoh dan mandiri, apapun bentuk perjuangan yang ada tidak bisa dijamin akan bertahan lama. Seringkali hal itulah yang menjadikan setiap perjuangan bangsa Indonesia, khususnya masyarakatnya, mengalami kegagalan di tengah jalan. Oleh karena itu, komitmen dan konsistensi juga menjadi hal penting selain beberapa konsep berikut pengamalan atas konsep tersebut.

Di samping itu, perlu juga adanya sikap terbuka dan saling mendukung antara sesama anggota masyarakat, maupun masyarakat dengan Negara, yang dalam hal ini adalah pemerintah. Keunggulan, kekokohan, serta kemandirian bangsa Indonesia, jika itu benar-benar diletakkan sebagai tujuan bersama, maka juga harus mencakup seluruh aspek dan berdampak bagi semua lapisan masyarakat yang ada. Tidak boleh hanya dipilih salah satu atau beberapa aspek saja, apalagi hanya ditujukan bagi beberapa orang atau kelompok.

Jika semuanya terakomodir, dan kuat, maka saling control dan melengkapi antara elemen yang satu dengan yang lian pun akan tetap selalu terjaga. Dengan demikian, suatu tatanan masyarakat madani dengan pemerintahannya yang bijaksana, secara terus-menerus akan bergerak menuju kepada perwujudan cita-cita ideal yang dimaksud, tidak lagi melenceng dari rel yang sudah ditentukan serta disepakati bersama.

Terakhir, Indonesia yang unggul adalah Indonesia yang pemerintah dan masyarakatnya secara kualitas tidak lebih rendah, bahkan berada di atas jika dibandingkan dengan Negara yang lain, khususnya ASEAN misalnya. Indonesia yang kokoh adalah Indonesia yang masyarakat dan pemerintahannya kuat dan saling mendukung. Baik dari segi keamanan Negara dari gangguan luar maupun pertahanan pada wilayah ekonomi, politik, pangan dan yang lainnya. Indonesia yang mandiri adalah Indonesia yang tidak lagi bergantung kepada belas kasih dari pihak luar, yang biasanya belas kasih tersebut justru merugikan bangsa Indonesia sendiri. Indonesia yang mandiri adalah Indonesia yang dengan khasanah yang dimilikinya mampu mengolahnya sendiri sedemikian rupa tanpa melupakan aspek-aspek moral yang di depan telah dijelaskan melalui moral Pancasila.

Semua hal tersebut tentu saja tidak bisa dilepaskan dari peran Islam yang telah dikontekstualisasikan sehingga relevan bagi pengakomodiran kebutuhan bangsa Indonesia. Sehingga bangsa Indonesia benar-benar akan menjadi suatu Negara-Bangsa yang unggul, kokoh dan mandiri, dengan Islam tetap sebagai pondasi dasar bangunan kebangsaan.

Kesimpulan

Setelah melalui refleksi dan perenungan panjang terhadap kondisi bangsa Indonesia, pada dasarnya Indonesia sejak dulu telah memiliki modal bagi kemajuan dan perkembangannya. Persoalannya adalah bangsa Indonesia seolah terasa enggan untuk menggali kemudian menerapkan sintesis yang telah ditemukan tersebut. Lemahnya Negara salah satunya disebabkan oleh lemahnya masyarakatnya dalam beberapa aspek. Lemahnya masyarakat disebabkan oleh salah satunya ideology yang masih kabur, serta semakin menurunnya kapasitas etika dan moral.

Oleh karena itu, Islam, jika secara sungguh-sungguh digali kembali kemudian dikontekstualisasikan sehingga mampu dihasilkan sebuah rumusan atau formulasi yang tepat untuk bangsa Indonesia, yang selanjutnyasintesis tersebut secara konsisten dan penuh komitmen dilaksanakan, besar kemungkinan bangsa Indonesia sesegera mungkin akan keluar dari berbagai persoalan yang kini dihadapi, yang salah satunya adalah lemahnya Negara dan masyarakat.

Konsep mengenai Negara-Bangsa untuk Indonesia sangatlah relevan untuk diupayakan. Islam pun memiliki seperangkat nilai yang tidak bertentangan dengan kebutuhan bangsa Indonesia dalam mewujudkan konsep tersebut. Jika Pancasila benar-benar terinternalisasi dan dilaksanakan secara benar, maka Negara-Bangsa bagi Indonesia bukan lagi suatu hal yang mustahil. Dalam arti Indonesia sebagai Negara-Bangsa yang unggul, kokoh dan mandiri. Negara-Bangsa yang selalu lebih mengedepankan kepentingan keadilan dan kemanusiaan warganya, yang sudah tidak lagi bergantung kepada Negara lain sehingga sampai harus mengorbankan rakyatnya.

Daftar Pustaka

Anshory, HM. Nasruddin CH. Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan. Yogyakarta: LKIS, 2008.

Billah,  MM, “ Asas-asas Membangun Gerakan”, makalah disampaikan dalam  Debt Campaign Training II yang diselenggarakan oleh kerja sama antara INFID Jakarta, YBKS Surakarta, dan Gerah Jabar pada tanggal 4-9 Maret 2002 di Hotel  & Restaurant Mega, Jl. Proklamasi 40 Jakarta.

Buchori, Mochtar. Indonesia Mencari Demokrasi. Yogyakarta: INSIST Press, 2005.

Esposito, John L. “Benturan Antar Peradaban: Citra Kontemporer Islam di Barat”, dalam  Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001.

Fukuyama, Fancis.  Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Kuntowijoyo. Islam sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Madjid, Nurcholis. Indonesia Kita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.

_______   Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 2008.

Marx, Karl. Capital Vol 1,2,3. New York: International Publisher Co: 1978.

Maududi, al-. The Islamic Law and Constitution, (Lahore: Islamic Publication, 1977)

PB HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan. Jakarta: PB HMI, 1971.

Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.


[1] Lihat Fancis Fukuyama, memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 1.

[2] Di cina misalnya, sebuah Negara dengan birokrasi yang sangat terlatih telah ada selama ribuan tahun yang lalu. Di Eropa, Negara modern, yang memiliki pasukan besar, kekuasaan perpajakan, dan sebuah birokrasi yang terpusat serta dapat menjalankan otoritas tertinggi atas suatu wilayah yang sangat luas, telah ada sekitar empat atau lima ratus tahun yang lalu, sejak munculnya konsolidasi kerajaan-kerajaan seperti Prancis, Spanyol dan Swedia. Lihat juga Francis Fukuyama, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005).

[3] Diantara kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh Negara antara lain adalah kemampuan dalam menjalankan beberapa fungsi serta perannya. Seperti dikatakan oleh Francis Fukuyama, bahwa fungsi Negara dibagi mimimal menjadi tiga, yaitu fungsi minimal, fungsi menengah, dan fungsi aktivis. Fungsi minimal mencakup penyediaan terhadap kebutuhan publik (pertahanan, hukun dan ketertiban, hak milik pribadi, manajemen mkroekonomi, dan kesehatan masyarakat), serta meningkatkan keadilan (melindungi kaum miskin). Fungsi menengah mencakup penanganan terhadap masalah-masalah eksternal (pendidikan dan lingkungan), mengatur monopoli, memperbaiki kualitas pendidikan (asuransi, regulasi keuangan, asuransi sosial). Dan fungsi aktivis mencakup wilayah kebijakan industri dan redistribusi kekayaan. Lihat Francis Fukuyama, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 9-11.

[4] Jika menggunakan analisis Marx, maka pendidikan hari ini tidak lebih merupakan instrument untuk menjaga stabilitas dan kejayaan kapitalisme. Diarahkannya pendidikan menuju terlahirnya professional-profesional, yang memilikin ahli di bidangnya masing-masing, tidak lain hanya untuk mengakomodir kebutuhan tenaga mesin industry besar kapitalisme. Tidak hanya itu, lahirnya ISO 9001 sebagai standar pendidikan nasional, UU Sisdiknas, serta kebijakan-kebijakan pendidikan yang lain, mengisyaratkan bahwa pendidikan hari ini tidak lain adalah sebagai komoditas sekaligus instrument kapitalisme. Lihat, Karl Marx, Capital Vol 1,2,3 (New York: International Publisher Co: 1978).

[5] Menurut penulis, tantangan internal yang dimaksud adalah melemahnya intelektualitas dan moralitas masyarakatnya, yang memiliki dampak sistemik. Semangat nasionalisme yang menurun, terjadinya korupsi di mana-mana yang mengakibatkan kemiskinan Negara dan masyarakat, serta peralihan kecenderungan masyarakat yang menjadi semakin hedonis, pragmatis dan konsumtif, tidak lain berakar dari intelektual dan moral yang tidak terakomodir dengan baik.

[6] Perlu dipahami bahwa di sini penulis menyatakan “Islam di indonesia dan Indonesia” bukan “Islam dan Indonesia”. Hal tersebut untuk membedakan islam yang lebih bersifat universal dengan Islam dalam konteks Indonesia.

[7] Meminjam istilah dan analisa dari  John L. Esposito mengenai pandangannya terhadap Islam dan Barat. Bahwa disamping memiliki persamaan akar teologis, proses interaksi yang selama berabad-abad terjadi juga meniscayakan beberapa pertentangan. Jika dalam konteks itu John L. Esposito sempat hamper terjebak pada wilayah dikotomik dalam melihat proses dialektika yang ada, maka berbeda jika kita melihat konteks pertentangan antara Islam di Indonesia dengan Indonesia itu sendiri pada masa awal Islam masuk ke Indonesia. Lihat, John L. Esposito, “Benturan Antar Peradaban: Citra Kontemporer Islam di Barat”, dalam Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001), hlm. 125-160.

[8] Tentang gotong royong, hampir di beberapa kawasan di wilayah nusantara pada waktu itu memiliki tradisi yang sama. Tepo sliro merupakan istilah dalam perbendaharaan bahasa Jawa, yang artinya adalah saling menghormati, menghargai, dan menyayangi terhadap sesamanya. Secara istilah memang berbeda penyebutannya antara satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia, namun secara makna sama. Mikul dhuwur mendem jero dimaknai sebagai penghormatan terhadap orang-orang yang memang pantas untuk dihormati, dengan tidak bermaksud meninggikan salah satu atau beberapa orang sehingga tidak lagi sederajat pada wilayah kemanusiaan. Karena hal itu di dalam Islam bisa dikatakan sebagai syirik. Lihat salah satu penjelasan Nurcholis Madjid mengenai syirik yang demikian dalam, PB HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan, (Jakarta: PB HMI, 1971).

[9] Salah satu ayat Al-Qur’an menyebutkan bahwa , “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri…”. Lihat Al-Qur’an, Surat An Nisaa, ayat 36.

[10] Diantara mereka adalah H. Agussalim Nasution, Cokroaminoto, M. natsir, Buya HAMKA, serta masih banyak lagi yang lain, hampir semua dari mereka melakukan usaha-usaha dalam melakukan objektifikasi terhadap Islam ke dalam ruang dan waktu yang kontekstual. Bahkan diantara mereka juga terdapat Muso (pimpinan PKI tahun 1948), dan Tan Malaka.

[11] Meletakkan Negara-Bangsa (nation state) dalam pandangan Islam, mungkin dapat dikatakan sebagai klaim. Sebab Islam luas dan mencakup semua, maka ketika meletakkan Islam dalam memandang Negara bangsa, maka islam yang dimaksud adalah representasi terhadap Islam, bukan Islam itu sendiri.

[12] Pandangan ini diwakili oleh al-Maududi. Lihat, al-Maududi, The Islamic Law and Constitution, (Lahore: Islamic Publication, 1977).

[13] Pandangan ini diwakili oleh al-Raziq. Lihat Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm. 202.

[14] Lihat, Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 42-43.

[15] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai…, hlm. 238.

[16] Lihat Nurcholis Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 2008), hlm. 239.

[17] Lahirnya keselarasan kehidupan sosial merupakan salah satu dampak positif dari pengamalan kelima sila dalam Pancasila tersebut. Pengamalan yang didasarkan kepada pemahaman terhadap kandungan yang terdapat di dalam Pancasila. Dalam salah satu karyanya, Nasruddin Anshory memberikan definisi sederhana terhadap masing-masing sila Pancasila. Sila pertama mengandung pengakuan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus nilai-nilai moral yang ditentukan oleh Tuhan. Sila kedua mengandung konsekwensi bahwa setiap warga Negara, dalam setiap tindakannya harus mendasarkan diri kepada kemanusiaan, keadilan, dan sopan santun. Sila ketiga mengandung moral persatuan, bahwa setiap warga Negara harus mempunyai keinginan untuk bersatu dan menyatukan. Nilai moral dalam sila keempat adalah bahwa setiap warga Negara yang bermoral harus bertindak sesuai dengan Pancasila. Dia juga harus merasa bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Segala kewajiban ditentukan oleh hukum dan aturan yang sama secara adil dan jujur sesuai dengan ketentuan-ketentuan Tuhan (Islam). Sila kelima mengandung makna keadilan sosial yang dijiwai oleh sila pertama, yaitu keadilan yang ditentukan oleh Tuhan. Lihat HM. Nasruddin Anshory CH, Dekonstruksi Kekuasaan: Konsolidasi Semangat Kebangsaan, (Yogyakarta: LKIS, 2008), hlm. 174.

[18] Pancasila, sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia terdiri dari lima sila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut memiliki penjelasan dan penjabarannya masing-masing (dalam butir-butir pancasila). Sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, pancasila tidak bertentangan dengan ajaran ataupun sistem nilai Islam, bahkan merupakan sintesis dari bagian-bagian yang dibutuhkan dan terdapat di dalam Islam, dengan Indonesia.

[19] Dalam penjelasannya, Kuntowijoyo memberikan penjelasan mengenai objektifikasi sebagai pembumian atau penerapan nilai-nilai (yang dalam hal ini adalah Islam) ke dalam ruang-ruang sosial. Sehingga dengan demikian, islam tidak lagi menjadi milik segelintir kelompok saja (yaitu orang yang “beridentitaskan” Islam), tetapi Islam benar-benar rahmatan lil alamiin, Islam yang pada wilayah empirisnya, dapat dirasakan tidak hanya oleh kelompok Islam saja, namun juga orang di luar Islam. Dan mereka yang ikut merasakan kebaikan Islam tersebut (meskipun non Muslim) mengenggap hal itu sebagai hal yang wajar . lihat Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 61.

[20] Hal ini disampaikan oleh Nurcholis Madjid dalam pengantarnya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) untuk Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI, dan diterbitkan pertama kali oleh Pengurus Besar HMI pada tahun 1971. Lihat, PB HMI, Nilai-nilai Dasar Perjuangan, (Jakarta: PB HMI, 1971).

[21] Lihat, MM Billah, Asas-asas Membangun Gerakan, makalah disampaikan dalam  Debt Campaign Training II yang diselenggarakan oleh kerja sama antara INFID Jakarta, YBKS Surakarta, dan Gerah Jabar pada tanggal 4-9 Maret 2002 di Hotel  & Restaurant Mega, Jl. Proklamasi 40 Jakarta.

[22] Dalam konteks sekarang komunisme tidak lagi sebesar beberapa waktu yang lalu, karena telah dikalahkan oleh kapitalisme. Tidak menutup kemungkinan, bahwa kapitalisme pun akan mengalami nasib yang sama dengan komunisme. Karena ideologi yang dijadikan landasan oleh mereka tidak atau belum berangkat dari landasan epistemologis serta ontologism yang benar, yaitu Islam.

[23] Dalam istilah Herbert Marcuse, ketertindasan semacam ini disebut sebagai desublimasi represif.

[24] Lihat, Mochtar Buchori, Indonesia Mencari Demokrasi, (Yogyakarta: INSIST Press, 2005), hlm. 255-256.

[25] Di dalam salah satu ayat Al-Qur’an, disebutkan bahwa, “…bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang Mu’min akan melihat pekerjaanmu…” (Al-Qur’an Surat At-Taubah, 105). “… dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya..” (Al-Qur’an Surat An-Najm, 39). “.. sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri..” (Al-Qur’an Surat Ar-Ra’d, 11). Dari beberapa ayat Al-Qur’an tersebut, sangat jelas bahwa islam sangat menganjurkan, bahkan mengharuskan manusia untuk berusaha keras dalam menentukan, atau merubah nasibnya.

Tinggalkan komentar